Senin, 28 Februari 2011

Jelang Penetapan Perda RTRW Kab. Sukabumi (1)

Belajar dari Bogota: Transformasi Menuju Kota yang Humanis

Catatan Wartawan Kompas, Agus Hermawan, 6-11 Februari 2003 usai mengikuti seminar internasional Human Mobility di Bogota, Kolombia. “Pelangi”, sebuah lembaga penelitian di bidang pembangunan berkelanjutan di Jakarta yang bekerja sama dengan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP, New York) juga mengajaknya mempelajari penerapan sistem Bus Rapid Transit (BRT)
TransMilenio di Bogota (dengan editing seperlunya tanpa mengurangi essensi dan substansi catatan).




Orang-orang bersepeda di jalur yang nyaman. Sebagian lagi berjoging atau berjalan kaki di pedestrian, di antara taman-taman yang tertata apik. Sementara di jalanan, mereka yang memilih angkutan bus umum bisa melaju
dalam kenyamanan. Jalanan lebar, dengan jembatan penyeberangan yang didesain menarik, meliuk-liuk di tengah keramaian jalanan. pedestrian, jalur sepeda nyaman dan luas memanjakan warga kota untuk bisa menikmati kotanya.

Taman-taman rimbun dan menghijau diperindah dengan sejumlah pasangan memadu kasih atau para pelajar tenggelam dalam bacaannya. Rumah-rumah susun dan apartemen tersebar di sejumlah kawasan yang terhubung dengan jalur transportasi.

“Jika kita bicara soal kota, kita harus bicara bagaimana seharusnya kita tinggal dan bermukim,” kata Enrique Penalosa, Walikota Bogota (1998-2000) suatu saat. Walikota yang sebelumnya seorang akademisi bidang ekonomi, sejarah, dan administrasi publik itu akan dikenang sebagai walikota yang berjuang keras menegakkan sebuah kota ideal. Kota yang tadinya terkesan menyeramkan, menjadi cantik dan menyenangkan, memberantas kemiskinan dan korupsi.

“Warga dulu tidak menghargai kotanya dan mereka merasa kotanya akan semakin buruk,” kenang Penalosa. Bogota sebelum era Penalosa dikenal sebagai kota dengan tingkat kriminal tinggi, pengeboman oleh para militer, penculikan, hingga peredaran narkotika.




Namun kini, penduduk Bogota sepertinya menikmati menjadi warga sebuah kota yang memenuhi kebutuhannya. Sistem angkutan umumnya, yang dikenal dengan Bus Rapid Transit (BRT) TransMilenio praktis sudah berjalan dengan mulus dan menjadi kebanggaan mereka.

Kebanggaan warga dan pemerintah kota terhadap TransMilenio yang sebenarnyapembangunannya baru tahap pertama itu mengingatkan orang akan kebanggaan warga Singapura terhadap MRT (Mass Rapid Transit) mereka. “Sistem angkutanmassal kami saat ini yang terbaik di Amerika Latin, bahkan mungkin di dunia,” begitu biasa para pejabat Bogota membanggakan TransMilenio.




Dengan kepemimpinan yang konsisten dan dihargai rakyatnya, Penalosa “merekonstruksi” kotanya dengan 1.200 taman, menanam 100.000 pohon, merehabilitasi sekolah, dan permukiman-permukiman serta memperbaiki
lingkungan. Dia memang benar-benar memfokuskan kebijakannya pada bagaimana mendidik warga kota serta memperluas ruang publik.

“Orang-orang kaya bisa menghabiskan waktunya di countryside, pergi ke klub, atau makan di restoran. Tetapi untuk rakyat susah, mereka menghabiskan waktu senggangnya di ruang publik. Untuk alasan itulah, tingkat hidup dan ruang terbuka maupun pedestrian diperlukan agar demokrasi benar-benar berjalan,” kata Penalosa seperti dikutip sebuah media.

Namun, semua itu tidak diperoleh dengan instan dan mudah. Katanya, pemerintah kota bersama-sama warganya memerlukan waktu lima belas tahun lebih dengan kebijakan pembangunan kota yang konsisten.



Mereka berhasil menjadikan sebuah kota yang tadinya sangat kacau, menjadi sebuah kota yang layak dijadikan model bagi kota-kota lainnya di dunia. Bogota dengan penduduk 6,4 jutaan orang itu berhasil menata dirinya
dengan jalur bersepeda terluas di Amerika Latin (sepanjang 270 kilometer, dari 300 kilometer yang direncanakan), pedestrian, angkutan umum missal dengan BRT TransMilenio serta hari bebas kendaraan (car free day) yang meliputi area luas 35.000 hektar, yang terluas di dunia.

Sejak tahun 1995 sampai tahun 2000, pemerintah kota di bawah kepemimpinan Walikota Antonus Mockus Sivickas dan dilanjutkan penerusnya Enrique Penalosa, dan kemudian Mockus lagi, mereka benar-benar mengadakan perubahan di bidang tata ruang kota, sosial maupun ekonomi kota.

Mockus seorang akademisi matematik dan filsafat yang sama sekali tidak memiliki pengalaman politik ternyata mengelola kotanya dengan baik. Walikota yang dipilih oleh 64 persen dari sekitar 7 juta penduduk Bogota itu
benar-benar menjalankan kampanyenya.

Dengan dana hanya 8.000 dollar AS (termurah yang pernah terjadi di Kolombia) ia sangat terkenal dengan kampanye “No P” yang meliputi: no publicity, no politics, no parti atau plata (alias uang). Pemerintahan Mockus selama dua tahun (1995-1997) memfokuskan pada perencanaan kotanya secara jelas dengan program Formar Ciudad atau “Mendidik Kota” dengan penekanan para kultur warga kota, ruang publik, lingkungan, sosial, produktivitas urban hingga legitimasi institusional.

Mockus mendefinisikan kultur warga kota sebagai “sejumlah kebiasaan, perilaku, dan tindakan serta peraturan perundangan agar warga kota merasa
memiliki, harmoni di antara sesama warga, dan menghargai properti dan peninggalan kota”. Fokus membentuk kultur baru warga kota semacam itu menjadi tujuan utama pemerintahan Mockus. Dia melakukannya dengan sejumlah program pendidikan bagi warganya.

Tantangan dari warga Bogota bagi Mockus maupun Penalosa bukannya tidak ada. Itu terbukti dengan digantikannya dia oleh Penalosa (1998-2000), sebelum dia kembali memimpin Bogota hingga kini. Bahkan Penalosa, sempat dituding “komunis” oleh sejumlah kalangan usahawan atau orang kaya karena dianggap memaksa warga menggunakan bus dan angkutan umum.



Demikianlah, seperti disampaikan Ricardo Montezuma, Direktur Fundacion Ciudad Humana (Yayasan Kota Humanis, sebuah lembaga nonprofit di Bogota), kebijakan-kebijakan Penalosa maupun Mockus yang dilaksanakan secara konsisten tersebut menyebabkan Bogota berubah secara ruang (tata) kota,
sosial, ekonomi maupun politik kota yang tadinya semrawut (chaostic) berubah wajah menjadi sebuah kota yang kini bisa dianggap sebagai kota ideal dari
segi ketatakotaan dengan tingkat kriminalitas yang rendah.

Pada akhir kepemimpinan Penalosa misalnya, tingkat kejahatan anjlok hingga 50 persennya dan pembunuhan di kota yang oleh media barat dulu dikenal sangat berbahaya itu pun turun hingga 20 persen.

Keberhasilan Bogota seperti saat ini juga terjadi karena beruntung Penalosa yang menggantikan Mockus, jauh dari kebiasaan “ganti pejabat, ganti aturan”. Penalosa, yang lagi-lagi bukan seorang politisi, melainkan seorang akademisi yang mendalami ekonomi, sejarah, dan administrasi publik, meneruskan program yang telah digariskan Mockus.

Jika Mockus memfokuskan diri bagaimana mendidik warga kota merasa memiliki kotanya dan bersama-sama mengelola kotanya, maka Penalosa melanjutkannya dengan implementasi dari kebijakan-kebijakan rencana pengembangan kota Bogota.

Kepopuleran Mockus sebagai walikota yang dipilih rakyat terlihat, Rabu, saat di Bogota mengadakan hari bebas kendaraan (free car day), di sebuah taman kampus Bogota. Warga kota dan mahasiswa mengelu-elukannya, dengan lambaian tangan sebagaimana seorang pemimpin yang lahir karena mereka pilih.

Mockus, juga bergabung dengan warga biasa, menyapa, dan berlaku sebagaimana warga kota lainnya, termasuk bersepeda, jauh dari kesan dibuat-buat atau protokoler sebagaimana yang sering kita lihat pada kebiasaan pejabat-pejabat di negeri ini di zaman Orde Baru, yang kini diteruskan para pejabat Orde Reformasi .

“Keterlibatan warga kota, sebagai sukarelawan mendukung semua program kota Bogota,” kata Mockus. Mungkin karena itulah pembangunan Kota Bogota untuk menjadi sebuah kota yang humanis, bisa berlangsung baik karena warga kota dan pengelola kota sama-sama merasa memiliki kotanya.



Sulit dibantah, Penalosa maupun Mockus memang berhasil menjadikan sebuah kota yang tadinya amburadul, dengan lalulintas yang semrawut secara perlahan mulai berubah wajah. Apalagi Bogota yang sepanjang tahun sejuk itu memiliki taman-taman yang luas dan terpelihara baik.

Mereka bertekad menjadikan Bogota sebagai sebuah kota yang humanis. Kota yang benar-benar dibangun untuk dinikmati dan ditinggali warganya dengan nyaman. Mockus berani menata berbagai kawasan kota yang tadinya sangat tidak nyaman dan bisa diterima warganya karena dia memang benar-benar menawarkan sebuah kawasan baru yang bisa dinikmati, tanpa merugikan warga.

Bahkan, dalam rencana induk yang dibuat oleh Penalosa, akses jalan lebih diutamakan untuk pejalan kaki, pemakai sepeda, maupun infrastruktur yang lebih mengutamakan angkutan umum.

Sebaliknya, penggunaan angkutan pribadi lebih dipersulit dengan sejumlah ketentuan. Dengan kebijakan pico y placa (jam sibuk dan plat nomor) mereka bermaksud mengurangi penggunaan kendaraan pribadi hingga 40 persen pada saat jam sibuk. Mereka juga memberlakukan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dengan kebijakan nomor plat mobil.

Selama dua hari dalam sepekan kendaraan pribadi dilarang beroperasi. Mereka mengaturnya dengan cara kendaraan berplat nomor berakhiran 1 hingga 4 dilarang untuk digunakan pada hari Senin, 5 hingga 8 pada hari Selasa; 9,0, 1 dan 2 pada hari Rabu; 3,4,5 dan 6 pada hari Kamis, serta 7,8,9 dan 0 pada hari Jumat.

Pelaksanaan car free day dimaksudkan pemerintah kota agar warganya bisa membayangkan bahwa kota tanpa kendaraan pribadi bukanlah hal yang mustahil. Dalam voting yang diselenggarakan pemerintah kota, warga kota menginginkan acara tersebut bias berlangsung setiap tahun.

Apalagi, selain kebiasaan berjalan kaki (hampir 30 persen warga Bogota berjalan kaki untuk melaksanakan aktivitas kesehariannya, termasuk pulang pergi sekolah atau bekerja), kebiasaan menggunakan sepeda juga semakin
membaik. Jika pada tahun 1998, pengguna sepeda hanya 1 persen saja dari seluruh pengguna moda angkutan di Bogota, maka pada tahun 2002 meningkat hingga 4 persen.


Membaiknya struktur kota dengan manajemen perlalulintasan yang konsisten yang dijalankan, juga bisa menurunkan angka kejahatan atau kriminalitas, angka kecelakaan di jalan raya dan polusi udara. Angka kecelakaan di jalanan misalnya, yang pada tahun 1995 tercatat 1.387 kasus, terus menurun hingga 745 kasus (tahun 2001), dan pada tahun 2002 hanya 697 kasus.

Upaya menjadikan kota sebagai milik bersama itu karena pemerintah kota benar-benar menjalankan program untuk memacu masyarakatnya berpartisipasi atau terlibat langsung dalam pengelolaan kotanya. Untuk setiap pelaksanaan
sistem bus baru, hari tanpa sepeda mereka membentuk suatu organisasi berbasis masyarakat, seperti Ciclovia Volunteers (untuk para sukarelawan program pemasyarakatan pemakaian sepeda) hingga Misson Bogota. Merekalah yang bergerak dan mendorong masyarakat lainnya untuk berpartisipasi dan mendukung setiap program pemerintah kota.

Warga kota ikut mengelola kota. Setidaknya hal tersebut menjadi pelajaran bagi pengelola kota lain, yang sering meninggalkan warganya sehingga mereka menjadi terasing di kotanya sendiri. Secara telaten terintegrasi dengan sistem yang baik, mereka benar-benar melibatkan dan mendidik warganya secara serius untuk menjadikan kotanya lebih baik. Jauh sebelum mereka mengenalkan sistem BRT TransMilenio misalnya, upaya mendidik dan mengajak aktif partisipasi warga dilakukan dengan berbagai upaya.



“Kami sengaja mendatangkan 21 unit jenis bus yang dipergunakan di berbagai negara, dari Hungaria hingga Brasil. Semua itu untuk mendidik warga bahwa rencana menciptakan angkutan massal itu bukan hanya impian tetapi nyata,” kata Dario Hidalgo, seorang manajer TransMilenio.

Bahkan, jauh sebelum sistem bus tersebut benar-benar dilaksanakan, mereka mengajak warganya untuk melek bagaimana mulai mengubah “kultur” naik bus secara modern, mulai dari bagaimana antre hingga membeli tiket yang benar.

Sejumlah sukarelawan diterjunkan hingga ke sekolah-sekolah taman kanak-kanak. Dengan alat peraga sederhana, mereka mengajarkan cara-cara baru kepada anak-anak tersebut bagaimana mulai menjalani hidup baru sebagai bagian dari warga kota modern.

Upaya mereka mengajar kepada anak-anak balita itu bukannya tanpa maksud. “Sepulang sekolah anak-anak itu akan bercerita kepada orangtuanya apa yang kami ajarkan kepada mereka. Mereka juga menjadi penyambung apa yang kami ajarkan kepadanya. Bukankah itu juga secara otomatis mendidik orangtuanya
juga,” kata Hidalgo.

Terbukti ketika TransMilenio digelindingkan, sistem BRT bisa berjalan dengan baik. Upaya pemerintah menyiapkan infrastruktur dibarengi dengan kesiapan warga kotanya menjalani “kehidupan baru” mewujudkan kultur baru pula bagi kehidupan warga Kota Bogota.

Soal ruang publik, Walikota Penalosa pernah menyatakan, “Ruang publik sangat perlu untuk hidup, melakukan bisnis, memadu kasih, dan bermain. Semua itu tidak bisa hanya dihitung secara ekonomis maupun matematik tetapi harus dengan perasaan dan nurani”.

Infrastruktur kota yang baik sekalipun tidak akan cukup menjadikan sebuah kota menjadi nyaman, tanpa warga kotanya merasa terlibat dan menikmati semua

Minggu, 27 Februari 2011

Konsep Pengembangan Wilayah dalam Perencanaan Pembangunan

Posted on Januari 21, 2009 by Putra


Konsep pengembangan wilayah dikembangkan dari kebutuhan suatu daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesehateraan masyarakat. Pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antarnegara, antardaerah (kota/kabupaten), kecamatan hingga perdesaan.

Globalisasi juga ditandai dengan adanya revolusi teknologi informasi, transportasi dan manajemen. Revolusi tersebut telah menyebabkan batas antara kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi tidak jelas, terjadinya polarisasi pembangunan daerah, terbentuknya kota dunia (global cities), sistem kota dalam skala internasional, terbentuknya wilayah pembangunan antarnegara (transborder regions), serta terbentuknya koridor pengembangan wilayah baik skala lokal, nasional, regional dan internasional.

Di kawasan Asia globalisaasi telah menciptakan polarisasi pembangunan yang sangat signifikan dalam bentuk megaurban region yang terjadi di kota-kota metropolitan di sepanjang pantai timur Tokyo, Seoul, Shanghai, Taipei, Hongkong, Guangzhou, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Jakarta, bandung Hingga Surabaya. Dalam skala antarnegara terjadi pemusatan di Bohai (Cina – Korea), Hongkong- Guangzhou, dan SIJORI (Singapura-Johor-Riau). Di Indonesia polarisaisi terpusat di sepanjang Sumetera (Medan-Palembang), dan Jawa (Jakarta-Bandung-Semarang- Surabaya).
Koridor mega urban ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya terutama kabupaten, kecamatan dan desa-desa disekitarnya yang memiliki hubungan ekonomi dan pasar yang cukup kuat. Namun perubahan tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana wialayh yang memadai akibat keterbatasan pemerintah. Oleh karena itu, pihak swasta dan lembaga lainnya dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Berbagai dampak yang di akibatkan dari globalisasi ekonomi terhadap pembangunan lokal secara sederhana sebagai berikut :
1. Berubahnya orientasi pembangunan yang harus bertumpu pada peningkatan individu, kelompok dan pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi persaingan global, sehingga memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive), mengembangkan diri dan meningkatkan kesejahteraan.
2. Semakin pentingnya peran lembaga non pemerintah seperti, pihak swasta, masyasrakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pelaksanaan pembangunan dan pembiayaan.
3. Terjadinya peningkatan urbanisasi di pinggiran kota besar dibandingkan di dalam kota besar itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Mc. Gee pada tahun 1980-an. Batas antara kawasan perkotaan dan pedesaan semakin tidak jelas akibat pertumbuhan ekonomi,

Dimana kegiatan perkotaan telah berbaur dengan perdesaaan dengan intensitas pergerakan investasi, ekonomi dan penduduk semakin tinggi.

Atas dasar uraian di atas, pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.

Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan.

Pendapat anda mengenai blog ini:

Profil

Foto saya
Palabuhanratu, Kab. Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia
Bertukar pikiran, usul, saran, pendapat, informasi semoga semakin mudah terlaksana dengan hadirnya blog kami ini